Category Archives: Kopi

SANTAI DI WARUNG KOPI

Standar

07102010071 Malam belum lagi terbilang larut. 10-12 tahun yang lalu mungkin jam-jam ini waktunya menyaksikan Dunia dalam Berita di TVRI. Yupphh!! Saat ini memang waktu menunjukkan jam sembilan lewat sepuluh menit.

Ditemani satu gelas kopi susu, empat bakwan goreng, empat pisang goreng selai srikaya yang sudah kami habiskan setengahnya. Dengan disertai pembicaraan ringan seputar sepak bola, prakiraan cuaca, tarif angkutan udara, korupsi , pilkada sampai obrolan serius tentang Guther Grasss yang sebetulnya ingin berbagi hadiah Nobel Sastra yang ia peroleh dengan Pram, atau diskusi tentang sosio historiografi, serta kajian Postkolonial di kota ini.

Dikanan-kiri meja-meja lain juga sudah tersedia gelas-gelas kopi, gorengan dan segala aktivitas interaksi para pengunjungnya. Sedang di depan, lalu lintas sudah tidak seramai 1-2 jam yang lalu. Hanya lampu lalu lintas dengan cahaya kuningnya yang masih sama berpendar. Yang kemudian seolah menyatu dengan aktivitas di salah satu warung kopi. Disalah satu jalan di kota Pontianak.

Secara fenomenalisme yang dimaksud dengan warung kopi adalah tempat menjual minuman hangat dan yang lainnya, dan menyediakan tempat untuk orang atau konsumen menikmati dan meminumnya. Namun, selain itu Warung kopi juga adalah pertumbuhan interaksi dan kebutuhan manusia. Dimana warung sebagai tempat penjual menjual barang dagangannya dan tempat pembeli membeli barang kebutuhannya. Interaksi antara penjual dan pembeli adalah juga manifestasi ‘manusia sebagai makhluk sosial’ yang membutuhkan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhan.

Warung-warung kopi yang banyak terdapat di Kota Pontianak ini juga ‘dapat’ dikatakan sebagai sebagai ruang publik. Dimana menjadi tempat berinteraksi sebagian warga kota. Sebagai ruang yang dapat mereka pergunakan bersama.

Perkembangan dan keberadaan fenomena warung kopi di kota Pontianak tidak terlepas dari perkembangan denyut nadi perekonomian. Ciri dan besaran warung kopi pada umumnya sama. Dan tidak terlalu banyak mengalami perbedaan. Biasanya terdiri atas satu ruangan dengan luas kurang lebih seukuran toko 3 x 5 meter. Terdiri atas meja kecil yang terbuat dari tripleks halus berwarna biru muda atau berwarna kuning pastel. Dengan 4 kursi plastik kursi yang mengelilingi. Beberapa meja terdapat di dalam ruangan, namun selebihnya berada di sekitar pintu masuk warung kopi.

IMG_0063Akan sangat sulit sekali untuk dapat menentukan kapan pertama kali dan warung kopi mana yang pertama kali muncul. Kemungkinan warung-warung kopi ini sudah ada sejak lama. Dengan asumsi bahwa banyak juga warung kopi yang tersebar di daerah lain di Kalimantan Barat. Dan tradisi meminum kopi juga merupakan tradisi yang sudah ada sejak lama.

Pada perkembangannya, warung kopi kini tak hanya berada di sekitaran pasar. Namun, juga menjamur di jalan-jalan yang menuju ke arahnya dan juga kearah pusat kota. Perubahan juga berkenaan dengan interaksi, konsumen/pelanggan serta bentuk warung kopi tersebut.

Perubahan dari bentuk warung kopi tentunya mengikuti kebutuhan dan image warung kopi tersebut. Bila warung kopi lama, (dan tentunya juga masih banyak tersebar) berbentuk toko 3 x 5 meter. Kini banyak warung kopi yang dibuat dengan daya tampung yang lebih besar dan banyak. Tata letak meja dan kursi pada warung-warung sekarang ini pada umumnya banyak terdapat di luar ruang. Hal ini untuk mengakomodir kebutuhan akan suasana santai dan kebutuhan akan ruang publik.

DSC00549Umumnya warung kopi menyediakan sebuah meja berukuran kurang lebih 1-1,5 m x 1-1,5 m. Dengan tinggi kaki penyangga kira-kira 1,5m. Pada beberapa tempat, kaki penyanggah dapat di bongkar pasang. Dengan pertimbangan lebih praktis, beberapa warung kopi sampai dan atau sengaja menggunakan halaman warungnya, bahkan beberapa warung kopi menggunakan sempadan jalan malam harinya. Sebuah meja, biasanya terdapat 4 buah meja duduk yang terbuat dari plastik. Untuk penerangan pada malam hari tidak disediakan lampu atau penerangan khusus di setiap meja-kursi. Penerangan dibuat secara makro pada keseluruhan saja.

 

Secara kuantitas penyebaran warung kopi di Kota Pontianak hampir merata di sejumlah jalan-jalan umum utama dan di sekitar kawasan pasar. Hal tersebut terjadi tidak terlepas dari perkembangan kota. Baik dilihat dalam sektor yang memancar menjauhi pusat kota dengan teori Sector-nya Homet Hoyt (1939). Melalui teori Multiple Nuclei-nya Chauncy Harris dan Edward Ullman(1945) dimana bentuk perkotaan dan perkembangannya menyebar akibat adanya ‘sarana-prasarana’ kendaraan bermotor, juga melalui teori Consentric-Zone-nya Ernest Burgess(1925), dengan penyebaran penduduk. Warung kopi sebagai obyek ruang dan tempat, dan dengan berlangsungnya transaksi yang kompleks berdasarkan data penyebarannya banyak terdapat di daerah ini. Lokasi-lokasi seperti Jalan Gajahmada, Jalan Tanjungpura, Jalan komyos Sudarso, Jalan Imam Bonjol. Dan beberapa tempat lain seperti daerah Simpang Kota baru, Tanjung hulu 2, sekitar daerah Kemuning, warung kopi juga berada dalam kawasan atau tak jauh dari kawasan pasar.

Penyebaran penentuan warung-warung kopi ini selain keterkaitan dengan perkembangan perencanaan dan pembangunan kota. Masa lalu, masa kini, dan masa depan. Perkembangan sarana-prasarana transportasi. Penyebaran dan pertumbuhan penduduk. Memunculkan kesan dan pertimbangan strategisnya tempat dan suasana.

Dalam bentuk fisik, warung kopi biasanya merupakan sebuah bangunan yang memang diperuntukkan atau sengaja dibangun untuk warung/toko. Dengan satu bangunan utuh berbentuk persegi empat, berukuran sesuai dengan tersedianya lahan. Terdiri hanya satu ruangan, tanpa adanya tembok pemisah atau penyekat. Sebagian besar warung kopi yang ada memanfaatkan lahan atau perkarangan yang ada di depan warung/toko, untuk meletakkan meja dan kursi.

Berdasarkan pengamatan lapangan. Di wilayah Kotamadya Pontianak dengan panjang jalan 181.873 yang telah di aspal, terdapat kurang lebih 238 warung kopi. Dengan skala kapasitas Kecil, sedang dan besar.

(Adapun penentuan skala kapasitas lebih didasarkan pada ‘kemampuan’ daya tampungnya. Dengan ketersediaan meja dan kursi. Dikarenakan tidak adanya parameter yang absolut dan mengikat dalam ketentuan tentang kapasitas. Asumsinya adalah, sebuah meja ([ukuran warung kopi umumnya 1-1,5 x 1-1,5 m) maksimal menggunakan 4 buah kursi. Maka 1 meja, dapat menampung 4 orang. Skala kapasitas kecil, penulis tentukan sebanyak atau dibawah 3 meja. Maka maksimal warung kopi tersebut mampu menampung 12 orang di saat yang bersamaan. Skala kapasitas sedang 4-6 meja. Berarti mampu menampung sekitar 13-24 orang. Skala kapasitas besar jumlah meja yang tersedia lebih dari 6. Yang berarti warung kopi tersebut dapat menampung lebih dari 25 orang pada saat yang bersamaan.

Dari jumlah kuantitas 238 warung kopi tersebut, dapat diklasifikasikan juga berdasarkan plang nama. Untuk mengidentifikasikan keberadaan mereka. 111 warung kopi diantaranya [46.6%] menggunakan plang nama. Dan 127 [53.4%] warung tidak menggunakan plang nama.

Kuantitas sebanyak 238 warung kopi, baik yang menggunakan plang nama ataupun yang tidak tersebar di beberapa jalan kota Pontianak terdistribusi di 55 ruas jalan di beberapa wilayah.

Dan akhirnya keempat pisang goreng selai srikaya itu habis kami santap. Dan kopi susu yang sedari tadi menemani kami menikmati suasana di warung kopi ini sudah tidak lagi terasa hangat. Hmmmmm… nampaknya kami harus memutuskan apakah memesannya kembali, atau beranjak, atau memilih untuk memesan di warung kopi yang lain. Dengan segala suasana yang dimilikinya. Sambil bersantai diwarung kopi dengan fenomena yang ada didalamnya.