Category Archives: Wisata

TEMPAT MAKAN, JAJANAN

Standar

Ada begitu banyak rumah makan, restoran, café, tempat jajanan yang tersebar di kota Pontianak. Dari yang mahal sampai yang murah-meriah. Dari yang umum, artinya dapat ditemukan ditempat atau daerah lain sampai yang ‘mungkin’ hanya ada di kota Pontianak dengan segala suasana dan ciri khasnya. Dari yang menggunakan bangunan permanen, berada di tempat mewah, dalam lobi hotel sampai yang hanya menggunakan gerobak dorong. Dari yang berada di jalan utama, tepi jalan besar sampai yang berada di gang-gang sempit. Dari yang tidak berkaki, berkaki banyak, lesehan, sampai yang di kaki lima.

Namun, bukan berarti yang mewah lebih enak daripada yang murah-meriah. Atau yang dijalan utama lebih mengugah selera di banding yang ada di dalam gang-gang. Semua memiliki dimensi yang sama dalam membentuk satu warna bersama, akan sebaran makanan-minuman di kota Pontianak.

Kami, dalam buku ini mencoba untuk obyektif dalam menyajikan seberapa banyak sebaran tempat makanan-minuman tersebut. Dan mencoba untuk tidak subyektif dalam menilai mana lebih lezat dibanding lainnya. Karena takutnya nanti malah ada anggapan mengiklankan rumah makan, resto, café, tempat jajanan tertentu.

 

Selanjutnya data, sebaran, lokasi, harga, menu, suasana dan lainya diperoleh dengan metode pemahaman, interpretasi atau verstehen. Pendekatan verstehen yakni, peneliti/penulis berempati terhadap subyeknya, sehingga dapat memahami makna-makna tindakan, gejala, fenomena. Dimana berusaha memahami situasi sosial subyek, lokasi aktivitasnya, para pelaku yang terlibat, kegiatan dan tindakan subyek, obyek/benda disekitar, peristiwa yang terjadi. Artinya kami turun langsung mendata sejumlah tempat tersebut. Dan tentunya selain itu juga kami peroleh dari sumber-sumber lainnya, seperti buku, koran, majalah, internet, pengalaman serta rekomendasi kawan dan lain-lain.

Mengenai deskripsi berkenaan dengan bahan makanan tertentu secara langsung kami cantumkan. Setidaknya untuk menghindari dikotomi dan labelling. Namun tentu itu sangat penting dalam memberi interpretasi dan rasa aman saat mengkonsumsinya. Apakah bisa di konsumsi oleh saudara yang muslim atau yang hanya dapat di konsumsi oleh anda yang non muslim. Di beberapa deskripsi kami cantumkan [tapi menu ini, kawan yang menyantapnya, saya hanya melihat saja].

 Namun, kami pun menyadari bahwa tentunya ada tempat-tempat yang belum masuk dalam catatan buku ini. Karena tentu ada begitu banyak tempat-tempat makanan-minuman yang berada di kota Pontianak. Serta perkembangan kota yan semakin pesat. Atau jika anda melakukan wisata kota, dan berwisata alternatif sekaligus berwisata kuliner tidak tertutup kemungkinan anda sendiri akan menemukan tempat-tempat dengan segala rasa dan ciri khasnya.

Sekali lagi, mari kita lihat dan cicipi bersama makanan-minuman yang ada disekitaran kota Pontianak. Dan selamat menikmatinya dengan rasa aman dan nyaman.

‘WISATA KULINER’

Standar

Premis sederhananya adalah  ketika bahan baku sumber alam ditambah dengan bumbu rempah-rempah. Diolah tangan-tangan terampil dengan cita rasa tinggi, maka hasilnya  adalah makanan-minuman yang menggugah selera. Anda setuju?? Terlepas dari anda setuju atau tidak, Aristoteles pernah mengatakan “Degustibus Non Est Dispandum”, Bahwa Selera Tak Bisa Diperdebatkan.

 

Bahan baku dan rempah-rempah bumbunya mungkin sama. Namun hasil dan rasanya bisa berbeda. Setiap daerah memiliki suatu kebudayaan, selera, sejarah, dan perkembangannya. Hal itu berpengaruh pula pada makanan-minuman yang menjadi ciri khas suatu daerah.IMG_0014

Premis sederhananya adalah ketika bahan baku sumber alam ditambah dengan bumbu rempah-rempah. Diolah tangan-tangan terampil dengan cita rasa tinggi, maka hasilnya adalah makanan-minuman yang menggugah selera. Anda setuju?? Terlepas dari anda setuju atau tidak, Aristoteles pernah mengatakan “Degustibus Non Est Dispandum”, Bahwa Selera Tak Bisa Diperdebatkan.

Makanan dan juga minuman dilihat dari sudut antropologi atau folklor (Adat istiadat tradisional yang diwariskan; tetapi tidak dibukukan) , merupakan fenomena kebudayaan. Oleh karena itu makanan atau juga minuman bukanlah sekedar produksi organisma dengan kualitas-kualitas biokimia yang dapat dikonsumsi oleh organisasi hidup, termasuk juga untuk mempertahankan hidup mereka. Melainkan bagi anggota setiap kolektif, makanan dan juga minuman selalu ditentukan oleh kebudayaannya masing-masing.

Selain dapat dilihat dari sudut antropologi, makanan dan minuman juga dapat dilihat sebagai fenomena kebudayaan. Menurut Levi-Strauss didalam bukunya Mytholoqique I, Le cr et le Cuit [Metologi I; Yang Mentah dan Yang Masak, 1964 dalam koentjaraningrat, 1980,212], mengatakan bahwa manusia secara universal mengolah makanannya, walaupun sering kali ia juga menyukai makanan yang masih mentah. Dan bahwa makanan manusia secara keseluruhan dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yakni ; melalui proses pemasakan; melalui proses peragian dan makanan yang masih mentah, dalam arti bebas dari salah satu cara pengolahan.

Dan ketika premis di atas menjadi satu bagian dengan folklore, dan sebagai fenomena kebudayaan. Anda mungkin setuju, bahwa makanan dan minuman yang tersedia di suatu daerah dengan ciri khas, kualitas dan kuantitasnya kemudian akan berimplikasi bagi budaya dan pariwisata. Sehingga sekarang dikenal apa yang disebut dengan wisata kuliner. Jika anda setuju, marilah kita lihat dan mungkin cicipi bersama makanan-minuman yang ada disekitaran kota Pontianak. Atau mungkin hanya ada di kota Pontianak saja (dengan citarasa dan suasana yang khas). Dan jika anda belum setuju, ada baiknya anda juga lihat dan cicipi. Hingga kemudian anda akan sadari “belum afdol rasanya jika mengunjungi suatu daerah namun belum mencicipi masakan-minuman khas dengan citarasa dan suasananya”.

Atau belum afdol rasanya bila ke pontianak, jika belum makan di warung A. Atau belum makan mie di bilangan jalan P. Atau masih lapar rasanya bila makan siang belum makan sayur ‘N’ di warung TB. Dan jika sudah berada di salah satu meja atau tempat hidangan. Maka, mungkin benar adanya istilah yang mengatakan

“L’ Appetit Vient En Mangeant”,

Jika kita berada di meja makan yang tepat maka kita akan melahap habis semua makanannya.

 

Selamat Menikmati …

 

 

 

PARIWISATA BERKELANJUTAN DI PONTIANAK

Standar

Ketika mendengar kata ‘Pariwisata’ atau ‘Wisata’. Apa yang pertama kali muncul di benak kita? Apakah alamnya; tempat yang indah, pantai, pegunungan. Desa-desa, perkampungan atau kota. Peninggalannya; bangunan kuno, monumen, jalan bersejarah, alun-alun, museum Atau masyarakat dengan budayanya, tradisi yang tetap dipelihara, makanan-minumannya yang khas, atau suasana santai, rileks melepas kepenatan rutinitas. Dan bayangan mengemas barang-barang ke dalam tas, atau dengan pakaian kasual mengendong tas. Atau terbayang akomodasinya; berapa lama, menginap dimana, transportasi apa yang nanti di gunakan. Sampai berapa biaya yang harus dipersiapkan

 

Wisata memang identik dengan itu semua. Ada dua hal yang sangat mengasyikkan perihal perjalanan wisata. Pertama, ketika mempersiapkan segala sesuatu yang berkenaan dengan perjalanan tersebut. Mencari informasi tentang daerah yang dituju, cara menuju kesana, berapa besar biaya, berapa lama waktu, kemungkinan serta karakteristiknya. Setidaknya sebelum ke tempat yang dituju atau baru pertama kali sudah mempunyai gambaran. Lalu mempersiapkannya. Dan yang kedua, tentu ketika melakukan perjalanan.

Secara epistimologi Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela atau bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata1. sedangkan Pariwisata sendiri adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut.2 Pariwisata merupakan sejumlah hubungan dan gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan dan pendiaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal sementara, asalkan pendiaman itu tidak menetap dan tidak memperoleh penghasilan dari aktifitas yang sementara itu3.

Perjalanan wisata dimulai ketika keluar dari rumah, dengan apa mereka atau kita memulainya. Dengan taksi, sepeda motor, bus, mobil jemputan atau berjalan kaki. Menuju ke terminal, stasiun kereta atau ke bandara.

Lalu sesampainya di tempat tujuan menuju kemana? Apakah langsung ke lokasi yang dituju, mencari tempat makan atau istirahat di penginapan. Jika langsung ke lokasi yang dituju, menggunakan apa, seberapa jauh. Jika istirahat di penginapan, dimana penginapan yang sesuai. Apakah di hotel berbintang, hotel melati, losmen, wisma, atau bahkan istirahat di rumah kerabat atau kenalan. Berapa lama kunjungan di tempat tujuan, apa saja yang mesti dipersiapkan.

Dan yang tak kalah penting adalah cinderamata apa saja yang sekiranya dapat diperoleh. Akhirnya ketika satu tujuan atau semua tempat tujuan wisata yang di rencanakan telah dikunjungi, maka selanjutnya adalah dengan apa dan bagaimana wisatawan kembali kerumahnya.

Rangkaian perjalanan (wisata) semenjak berangkat dari rumah hingga pulang kembali kerumah. Pergerakan tersebut dengan tingkat kebutuhan selama melakukan perjalanan secara langsung atau tidak akan menciptakan perputaran ekonomi, barang dan jasa4.

Perjalanan wisata sebagai satu kesatuan yang utuh dengan keseluruhan gejala-gejala yang ditimbulkannya terus berkembang dan bermetamorfosis menjadi sebuah industri. Dimana ia (industri pariwisata ini-red) terintegasi dalam tataran lokal, nasional dan internasional. Dan tidak berdiri sendiri, dalam arti industri pariwisata melibatkan banyak industri lainnya. Seperti transportasi, akomodasi, bank, asuransi, keamanan, industri kecil menengah, bahkan tingkat keamanan dan yang lainnya.

Pariwisata sebagai konsep, sebagai aplikasi dan juga sebagai gejala yang terus mengalami perubahan. Seperti sekarang ini Pariwisata memiliki makna yang jauh lebih luas. Tidak hanya sekedar perjalanan untuk memperoleh kebahagian dan kenikmatan dari aktivitasnya. Namun, juga secara tidak langsung merupakan proses pertukaran budaya. Hal ini menunjukkan bahwa pariwisata bukan saja merupakan kegiatan yang dapat memberikan nilai ekonomi akan tetapi juga nilai-nilai yang dapat saling mempengaruhi.

“Pariwisata dalam arti modern merupakan gejala zaman sekarang yang didasarkan atas kebutuhan akan kesehatan dan penggantian hawa, penilai yang sadar dan menumbuh terhadap keindahan alam, kesenangan dan kenikmatan alam semesta. Dan pada khususnya bertambah pergaulan sebagai bangsa dan kelas dalam masyarakat manusia sebagai hasil perkembangan perniagaan, industri dan perdagangan serta penyempurnaan alat-alat pengangkutan”5.

 

-oo0oo-

 

Menurut jenisnya, Pariwisata terdapat beberapa klasifikasi. Di antaranya Pariwisata Kota (City Tourism), dan Pariwisata Alternatif (Alternatif Tourism). Pariwisata Kota (City Tourism), yaitu perjalanan dalam suatu kota untuk melihat, mempelajari, mengagumi, menikmati pemandangan serta perwujudan budaya yang ada atau yang pernah ada di kota tersebut. Pengembangan kegiatan pariwisata dengan memanfaatkan daya tarik kota dimaksudkan untuk membantu menghidupkan perekonomian kota. Menurut verbeke6, salah satu elemen utama yang menarik pengunjung ke suatu kota adalah elemen primer yang mencakup bangunan sejarah dan landsekap, museum, galeri, kesenian, konser, eksebisi, konferensi, olahraga dan acara khusus.

Berkenaan dengan itu salah satu elemen yang dimiliki kota Pontianak adalah terdapatnya bangunan-bangunan bersejarah dan memiliki nilai serta ciri khas. Seperti Keraton, Mesjid Jami, Mesjid Jihad, Gereja Katedral, Kawasan Pasar Kapuas Besar, Klenteng, Tugu Khatulistiwa, Kantor Pos Lama, Replika Rumah Betang. Juga kawasan Tanjung Hulu, kawasan jalan Tanjungpura ‘yang dahulu terkenal dengan ‘WOW STREET’, jalan Gajahmada sebagai kawasan yang menyimpan bangunan tua serta fenomena yang ada di sepanjang kedua sisi jalan serta dalamnya, kawasan sepanjang Sungai Kapuas Kecil dengan gertak panjangnya, yang menyimpan sejarah dan kajian subaltern7 serta beberapa yang lainnya.

Tempat-tempat tersebut sebagai satu bagian yang utuh dalam suatu elemen kawasan yang mencerminkan sejarah berkembangnya kota Pontianak. Hal ini kemudian dapat dioptimalkan untuk pengembangan kawasan-kawasan tersebut menjadi kawasan wisata yang bersifat satu kesatuan integral menjadi sebuah ’herritage tourism’. Greg Richards8   mengatakan bahwa ‘heritage tourism merupakan bentuk pariwisata ‘postmodern’ yang sangat berhubungan dengan memperhatikan terhadap citra, pasar yang berbeda dan pola produksi yang fleksibel.

Hal tersebut berhubungan pula bahwa pola konsumsi pada perubahan makro dari tujuan perjalanan wisata yang terus berkembang dan mengalami perubahan. Saat ini, pola konsumsi atau consumers-behaviour pattern dari para wisatawan khususnya wisatawan mancanegara tidak lagi hanya terpaku pada hanya ingin santai dan menikmati matahari-laut dan pasir/pantai (sun-sea and sand). Namun pola konsumsi dari para wisatawan mulai berubah ke arah jenis wisata yang lebih tinggi, yang meskipun tetap santai tetapi dengan selera yang lebih meningkat yakni menikmati produk atau kreasi budaya (culture) dan peninggalan sejarah (heritage), nature atau eko-wisata.

Begitu pula dengan wisatawan dalam negeri. Meski melewati pola konsumsi sun-sea and sand. Pada saat ini dan kedepan pola konsumsi beranjak ke arah jenis wisata yang tetap santai dengan menikmati produk atau kreasi budaya (culture) dan peninggalan sejarah (heritage), nature atau eko-wisata, serta keaslian dari suatu daerah tujuan wisata.

Selain Pariwisata Kota (City Tourism), menurut jenisnya, juga terdapat Pariwisata Alternatif (Alternatif Tourism). Pariwisata Alternatif adalah suatu bentuk pariwisata yang sengaja disusun dalam skala yang tidak massal. Memperhatikan kelestarian lingkungan dan segi-segi sosial, dan keuntungan ekonominya langsung dirasakan oleh masyarakat sebagai pemilik dan penyellenggara jasa pelayanan dan fasilitas pariwisata.

Jenis-jenis pariwisata diatas sangat berhubungan dengan model kepariwisataan yang bersifat terbuka. Dimana partisipasi masyarakat sangat terasa dalam pengembangan fasilitas tujuan wisatanya. Dan masyarakat memperoleh peran signifikan dalam menjaga identitas lokalnya yang akan langsung bersinggungan dengan pariwisata yang akan mereka bangun. Yang paling penting adalah masyarakat tidak hanya menjadi penonton.

Berkenaan dengan itu elemen-elemen yang dapat lebih dioptimalkan menjadi point positif bagi pariwisata berkelanjutan di Pontianak. Semua menjadi satu bagian dalam pariwisata berkelanjutan. Dan berada di dua sisi dalam mengembangkan industri pariwisata. Sisi pertama, dengan terus meningkatnya persentase jumlah wisatawan dan persentase pertumbuhan penerimaannya, tentunya akan membawa angka yang signifikan dalam sektor ekonomi suatu daerah dengan tempat-tempat tujuan wisatanya. Sisi kedua, tempat-tempat tujuan wisata di kota Pontianak terbingkai dalam aspek warisan budaya (heritage), sosial budaya, lingkungan, ekonomi. Dimana peran aktif masyarakat sangat dirasakan dan dukungan pemerintah daerah menjadi satu kesatuan.

 

—000—-

 

Apakah pariwisata berkelanjutan?

Ia merupakan suatu kegiatan pariwisata yang berusaha untuk hanya berdampak (negatif) kecil terhadap lingkungan hidup dan budaya lokal, di samping membantu untuk menghasilkan pendapatan, membuka lapangan pekerjaan dan melakukan pelestarian terhadap budaya, serta ekosistem lokal. Hal ini berarti pariwisata berkelanjutan merupakan pariwisata yang memiliki kepekaan tanggung jawab baik secara ekologis maupun kultural terhadap tempat tujuan wisata. Baik terhadap lokasi maupun komunitas sekitarnya.

Pariwisata berkelanjutan menurut Soemarwoto9 adalah pembangunan pariwisata yang memperhatikan daya dukung berdasarkan atas tujuan wisata, faktor alamiah, faktor buatan manusia serta melihat kemampuan lingkungan untuk mendukung sarana dan prasarana yang menunjang. Nelson11 mengatakan bahwa pariwisata yang berkelanjutan adalah pariwisata yang bentuknya dapat terus terjaga dan dijaga kelangsungannya pada kawasan tersebut dengan masa yang tak tertentu. Indikator-indikator yang digunakan untuk menyatakan bahwa pariwisata dikatakan berkelanjutan antara lain ; (1)       Terkontrolnya konflik pariwisata oleh masyarakat, seperti privacy, keutuhan lingkungan, nilai-nilai spritual dan estetika. (2) Tidak adanya konflik antara pembangunan pariwisata dengan warisan budaya lokal. (3) Perubahan kepemilikan lahan, seperti perubahan rasio lahan dari bukan perumahan keperumahan, rasio dari lahan pribadi menjadi lahan bersama. Kemudahan lokal untuk pelatihan dan bentuk lain yang mendukung pariwisata.

Menurut Martin dan Munt (2001 : 106)11 prinsip- prinsip yang mesti diperhatikan dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan adalah :

  1. Keberlanjutan (sustainable) :

–   Berhubungan dengan lingkungan       (environmentally)

–   Berhubungan dengan masalah sosial (socially)

–   Berhubungan dengan kebudayaan (culturally)

–   Berhubungan dengan lingkungan            (environmentally)

–   Berhubungan dengan perekonomian   (economically)

  1. Berkaitan dengan pendidikan (educational)
  2. Partisipasi daerah setempat (locally   participatory)

 

Prinsip-prinsip keberlanjutan pariwisata, adalah :

– Penggunaan sumber daya secara berkelanjutan

–   Mengurangi konsumsi berlebihan dan pemborosan

–   Pemeliharaan yang beraneka ragam

–   Jaminan keseimbangan/pemerataan

–   Menyatukan kegiatan pariwisata dalam     perencanaan

– Dukungan perekonomian setempat

– Ketelibatan masyarakat setempat

– Kegiatan konsultasi pihak berkepentingan dengan masyarakat

– Pelatihan staff

– Pemasaran pariwisata yang bertanggung jawab

– Kegiatan penelitian

 

Pada akhirnya setiap detail pembangunan pariwisata berkelanjutan terintegrasi dalam aspek warisan budaya (heritage), sosial budaya, lingkungan dan ekonomi sebagai bagian yang satu kesatuan. Dengan keterlibatan dari setiap elemen masyarakat.

Dari aspek sebagai warisan budaya (heritage), berpengaruh pada bagaimana semua stakeholder yang bersangkutan mempunyai kepedulian dalam menjaga dan merawat landskap dan peninggalan-peninggalan yang ada. Mendorong pelestarian budaya dan peninggalan sejarah dalam memberikan jaminan pelestarian dan keselamatan benda-benda cagar budaya.

Pada aspek sosial budaya, bagaimana masyakat (komunitas lokal) menjaga tradisi-tradisi yang berkembang. Dan tradisi, kebudayaan yang berkembang itu bukan hanya menjadi komoditi bagi wisatawan yang datang namun lebih pada bentuk kekayaan yang di miliki oleh masyarakat. Sehingga jikapun terjadi perjumpaan antara budaya luar dengan komunitas lokal, itu dalam bingkai pemahaman antar budaya ‘cross culture understanding’. Sehingga diantara dua budaya yang mengalami perjumpaan itu dalam posisi yang setara (equal).

Pada aspek lingkungan berpengaruh pada kelestarian lingkungan. Mendorong terpeliharanya lingkungan hidup. Dimana semua pihak juga menjaga kelestarian lingkungan hidup yang ada di sekitarnya. Dan nantinya timbul suatu kesadaran bersama, Bahwa jika bukan kita sendiri yang menjaga kelestarian lingkungan hidup sekitar kita maka siapa lagi. Dan jika kelestarian lingkungan hidup, tak dapat terjaga, maka tak ada lagi wisatawan yang akan datang. Jika wisatawan yang datang sedikit atau tidak ada maka itu akan berpengaruh pada roda perekonomian mereka juga.

Berkenaan dengan aspek ekonomi, dimana masyarakat dapat memanfaatkan semua kemungkinan sumber daya yang berkenaan dengan proses wisata, datangnya para wisatawan. Dengan membuka usaha yang kira-kira di butuhkan oleh para wisatawan. Dari membuka usaha akomodasi, rumah makan, warung penganan kecil dengan suasana khas, penyewaan mobil, motor, sepeda, sampan, laundry/cuci baju, toko cinderamata, sampai pada penunjuk jalan (travel guide).

Kata kuncinya adalah masyarakat akan ikut berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan, apabila setiap elemen masyarakat tersebut merasa mendapat manfaat atau keuntungan dari hal tersebut. Masyarakat akan tergerak untuk berpartisipasi secara aktif, apabila partisipasi itu memberikan manfaat langsung kepada mereka.

Hal tersebut berkenaan dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Menurut Kartasasmita12, upaya pemberdayaan masyarakat melalui tiga jurus: pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat (enabling). Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat

(empowering). Ketiga, memberdayakan mengandung arti melindungi.

Dan dalam rangka meningkatkan keterlibatan atau partisipasi masyarakat, terdapat dua cara : Pertama, mobilisasi kegiatan-kegiatan masyaraat. Kedua, meningkatkan oto aktivitas, swadaya dan swakarya masyarakat sendiri13. Sehingga dari manfaaat yang diperoleh tersebut dapat memenuhi kebutuhan serta kepentingan masyarakat. Hal itu berkenaan pula dengan konsep untuk mencapai tujuan pengembangan pariwisata indonesa pariwisata yakni : Keunikan dan keaslian seni dan budaya Indonesia yang berkesinambungan, menempatkan kepentingan masyarakat sebagai kekayaan yang paling berharga untuk mendukung pengembangan pariwisata, serta mendorong perusahaan kecil, menengah dan koperasi, mendorong dan menciptakan iklim yang mendukung pengembangan pariwisata.

Sekarang tinggal bagaimana semua pihak memposisikan perannya. Salah satu kata kuncinya adalah informasi, keterbukaan serta kerjasama. Dan salah satu dari hal itulah buku ini dibuat.

Maka, siapkan tas anda setelah membaca buku ini. Untuk sebuah perjalanan yang berbeda. Dari yang pernah anda lakukan. Atau bahkan yang anda bayangkan. Dalam sebuah wisata Kota dan wisata Alternatif.

Ke Pontianak yuk …!!

 

Catatan Kaki

 

  1. UU No.9 Tahun 1990 tentang Pariwisata
  2. Adalah definisi yang dikemukakan oleh Prof Hunzieken dan

Prof K Krapt (bapak ilmu pariwisata) dalam Oka, A Yoeti. 1996. Anatomi Pariwisata Indonesia, Bandung, Penerbit Angkasa

  1. UU No.9 Tahun 1990 tentang Pariwisata
  2. Berdasarkan data yang dikutip dari WTO, pada tahun 2000 wisatawan mancanegara (wisman) internasional yang melakukan perjalanan wisata ke tempat-tempat wisata di seluruh negara-negara mencapai jumlah 698 juta orang. Menciptakan perputaran ekonomi, barang dan jasa dengan pendapatan sebesar USD 476 milyar. Dengan pertumbuhan jumlah wisatawan sebesar 4,2 %. Sedangkan pertumbuhan penerimaan dari wisman sekitar 7,3%. Di dalam negeri indonesia sendiri, jumlah wisatawan nusantara (wisnus) pada tahun 2000 adalah sekitar 130 juta orang. Dengan total transaksi Rp. 7,7 triliun. Jumlah ini dalam grafik meningkat dan akan terus meningkat seiring dengan adanya kemudahan untuk mengakses data, informasi suatu daerah, promosi serta nilai (value) yang ditawarkan atau yang dapat diperoleh di suatu         daerah tujuan yang akan dikunjungi.
  3. Pendit, Nyoman S. 1981. Ilmu pariwisata, Pradnya Paramita, Jakarta
  4. Verbeke dalam Rosyidie, 1998. Dalam Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota volume 9 nomor 1 Januari 1998
  5. istilah subaltern mula-mula digunakan Antonio Gramsci dalam menunjuk ‘kelompok inferior’, yaitu kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Menurutnya sejarah kelas-kelas subaltern tak kalah kompleksnya    dengan sejarah kelas dominan, hanya saja yang terakhir ini lebih diakui sebagai ‘sejarah yang resmi’.      Ini bisa terjadi karena kelas-kelas sub altern tak punya cukup akses kepada sejarah, kepada representasi mereka sendiri dan kepada institusi-institusi sosial dan kultural. (dikutip dari Antariksa, “intelektual, gagasan subaltern dan perubahan sosial” dalam KUNCI, URL : http://kunci.or.id/teks/oman.htm, diakses 28 Desember 2007
  6. Dalam Wall G dan Nuryati W –ed 1996 Herritage and tourism. Anlas of Tourism Research vol 23, number 2, 1996 Pengamon, Great Britain
  7. Soemarwoto, 1989. Ekologi Lingkungan Hidup Dan Pembangunan, Penerbit djambatan,Jakarta
  8. Nelson, J G Butter R and Wall, G 1993. Tourism and Suistinable Developmnet : Monitoring, Planning and Managing. Dept of Geography University of Waterloo.
  9. Martin, mowforth dan Munt, ian, 1999. Tourism and Sustainability : New Tourism in the third world, Routledge.London
  10. Kartasasmita, 1996: 159. Kartasasmita, Ginanjar, 1996. Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, PT Pustaka Cidesindo, jakarta.2001.
  11. Bintoro, Tjokroamidjojo, 209. 1995. Perencanaan Pembangunan, PT Gunung Agung, Jakarta.

 

PARIWISATA BERKELANJUTAN DI PONTIANAK

Standar

Ketika mendengar kata ‘Pariwisata’ atau ‘Wisata’.  Apa yang pertama kali muncul di benak kita?  Apakah alamnya; tempat yang indah, pantai, pegunungan. Desa-desa, perkampungan atau kota. Peninggalannya; bangunan kuno, monumen, jalan bersejarah, alun-alun, museum. Atau masyarakat dengan budayanya, tradisi yang tetap dipelihara, makanan-minumannya yang khas, atau suasana santai, rileks melepas kepenatan rutinitas. Dan bayangan mengemas barang-barang ke dalam tas, atau dengan pakaian kasual mengendong tas. Atau terbayang akomodasinya; berapa lama, menginap dimana, transportasi apa yang nanti di gunakan. Sampai berapa biaya yang harus dipersiapkan

 

Wisata memang identik dengan itu semua. Ada dua hal yang sangat mengasyikkan perihal perjalanan wisata. Pertama, ketika mempersiapkan segala sesuatu yang berkenaan dengan perjalanan tersebut. Mencari informasi tentang daerah yang dituju, cara menuju kesana, berapa besar biaya, berapa lama waktu, kemungkinan serta karakteristiknya. Setidaknya sebelum ke tempat yang dituju atau baru pertama kali sudah mempunyai gambaran. Lalu mempersiapkannya. Dan yang kedua, tentu ketika melakukan perjalanan.

Secara epistimologi Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela atau bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata1. sedangkan Pariwisata sendiri adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut.2 Pariwisata merupakan sejumlah hubungan dan gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan dan pendiaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal sementara, asalkan pendiaman itu tidak menetap dan tidak memperoleh penghasilan dari aktifitas yang sementara itu3.

Perjalanan wisata dimulai ketika keluar dari rumah, dengan apa mereka atau kita memulainya. Dengan taksi, sepeda motor, bus, mobil jemputan atau berjalan kaki. Menuju ke terminal, stasiun kereta atau ke bandara.

Lalu sesampainya di tempat tujuan menuju kemana? Apakah langsung ke lokasi yang dituju, mencari tempat makan atau istirahat di penginapan. Jika langsung ke lokasi yang dituju, menggunakan apa, seberapa jauh. Jika istirahat di penginapan, dimana penginapan yang sesuai. Apakah di hotel berbintang, hotel melati, losmen, wisma, atau bahkan istirahat di rumah kerabat atau kenalan. Berapa lama kunjungan di tempat tujuan, apa saja yang mesti dipersiapkan.

Dan yang tak kalah penting adalah cinderamata apa saja yang sekiranya dapat diperoleh. Akhirnya ketika satu tujuan atau semua tempat tujuan wisata yang di rencanakan telah dikunjungi, maka selanjutnya adalah dengan apa dan bagaimana wisatawan kembali kerumahnya.

Rangkaian perjalanan (wisata) semenjak berangkat dari rumah hingga pulang kembali kerumah. Pergerakan tersebut dengan tingkat kebutuhan selama melakukan perjalanan secara langsung atau tidak akan menciptakan perputaran ekonomi, barang dan jasa4.

Perjalanan wisata sebagai satu kesatuan yang utuh dengan keseluruhan gejala-gejala yang ditimbulkannya terus berkembang dan bermetamorfosis menjadi sebuah industri. Dimana ia (industri pariwisata ini-red) terintegasi dalam tataran lokal, nasional dan internasional. Dan tidak berdiri sendiri, dalam arti industri pariwisata melibatkan banyak industri lainnya. Seperti transportasi, akomodasi, bank, asuransi, keamanan, industri kecil menengah, bahkan tingkat keamanan dan yang lainnya.

Pariwisata sebagai konsep, sebagai aplikasi dan juga sebagai gejala yang terus mengalami perubahan. Seperti sekarang ini Pariwisata memiliki makna yang jauh lebih luas. Tidak hanya sekedar perjalanan untuk memperoleh kebahagian dan kenikmatan dari aktivitasnya. Namun, juga secara tidak langsung merupakan proses pertukaran budaya. Hal ini menunjukkan bahwa pariwisata bukan saja merupakan kegiatan yang dapat memberikan nilai ekonomi akan tetapi juga nilai-nilai yang dapat saling mempengaruhi.

“Pariwisata dalam arti modern merupakan gejala zaman sekarang yang didasarkan atas kebutuhan akan kesehatan dan penggantian hawa, penilai yang sadar dan menumbuh terhadap keindahan alam, kesenangan dan kenikmatan alam semesta. Dan pada khususnya bertambah pergaulan sebagai bangsa dan kelas dalam masyarakat manusia sebagai hasil perkembangan perniagaan, industri dan perdagangan serta penyempurnaan alat-alat pengangkutan”5.

 

-oo0oo-

 

Menurut jenisnya, Pariwisata terdapat beberapa klasifikasi. Di antaranya Pariwisata Kota (City Tourism), dan Pariwisata Alternatif (Alternatif Tourism). Pariwisata Kota (City Tourism), yaitu perjalanan dalam suatu kota untuk melihat, mempelajari, mengagumi, menikmati pemandangan serta perwujudan budaya yang ada atau yang pernah ada di kota tersebut. Pengembangan kegiatan pariwisata dengan memanfaatkan daya tarik kota dimaksudkan untuk membantu menghidupkan perekonomian kota. Menurut verbeke6, salah satu elemen utama yang menarik pengunjung ke suatu kota adalah elemen primer yang mencakup bangunan sejarah dan landsekap, museum, galeri, kesenian, konser, eksebisi, konferensi, olahraga dan acara khusus.

Berkenaan dengan itu salah satu elemen yang dimiliki kota Pontianak adalah terdapatnya bangunan-bangunan bersejarah dan memiliki nilai serta ciri khas. Seperti Keraton, Mesjid Jami, Mesjid Jihad, Gereja Katedral, Kawasan Pasar Kapuas Besar, Klenteng, Tugu Khatulistiwa, Kantor Pos Lama, Replika Rumah Betang. Juga kawasan Tanjung Hulu, kawasan jalan Tanjungpura ‘yang dahulu terkenal dengan ‘WOW STREET’, jalan Gajahmada sebagai kawasan yang menyimpan bangunan tua serta fenomena yang ada di sepanjang kedua sisi jalan serta dalamnya, kawasan sepanjang Sungai Kapuas Kecil dengan gertak panjangnya, yang menyimpan sejarah dan kajian subaltern7 serta beberapa yang lainnya.

Tempat-tempat tersebut sebagai satu bagian yang utuh dalam suatu elemen kawasan yang mencerminkan sejarah berkembangnya kota Pontianak. Hal ini kemudian dapat dioptimalkan untuk pengembangan kawasan-kawasan tersebut menjadi kawasan wisata yang bersifat satu kesatuan integral menjadi sebuah ’herritage tourism’. Greg Richards8   mengatakan bahwa ‘heritage tourism merupakan bentuk pariwisata ‘postmodern’ yang sangat berhubungan dengan memperhatikan terhadap citra, pasar yang berbeda dan pola produksi yang fleksibel.

Hal tersebut berhubungan pula bahwa pola konsumsi pada perubahan makro dari tujuan perjalanan wisata yang terus berkembang dan mengalami perubahan. Saat ini, pola konsumsi atau consumers-behaviour pattern dari para wisatawan khususnya wisatawan mancanegara tidak lagi hanya terpaku pada hanya ingin santai dan menikmati matahari-laut dan pasir/pantai (sun-sea and sand). Namun pola konsumsi dari para wisatawan mulai berubah ke arah jenis wisata yang lebih tinggi, yang meskipun tetap santai tetapi dengan selera yang lebih meningkat yakni menikmati produk atau kreasi budaya (culture) dan peninggalan sejarah (heritage), nature atau eko-wisata.

Begitu pula dengan wisatawan dalam negeri. Meski melewati pola konsumsi sun-sea and sand. Pada saat ini dan kedepan pola konsumsi beranjak ke arah jenis wisata yang tetap santai dengan menikmati produk atau kreasi budaya (culture) dan peninggalan sejarah (heritage), nature atau eko-wisata, serta keaslian dari suatu daerah tujuan wisata.

Selain Pariwisata Kota (City Tourism), menurut jenisnya, juga terdapat Pariwisata Alternatif (Alternatif Tourism). Pariwisata Alternatif adalah suatu bentuk pariwisata yang sengaja disusun dalam skala yang tidak massal. Memperhatikan kelestarian lingkungan dan segi-segi sosial, dan keuntungan ekonominya langsung dirasakan oleh masyarakat sebagai pemilik dan penyellenggara jasa pelayanan dan fasilitas pariwisata.

Jenis-jenis pariwisata diatas sangat berhubungan dengan model kepariwisataan yang bersifat terbuka. Dimana partisipasi masyarakat sangat terasa dalam pengembangan fasilitas tujuan wisatanya. Dan masyarakat memperoleh peran signifikan dalam menjaga identitas lokalnya yang akan langsung bersinggungan dengan pariwisata yang akan mereka bangun. Yang paling penting adalah masyarakat tidak hanya menjadi penonton.

Berkenaan dengan itu elemen-elemen yang dapat lebih dioptimalkan menjadi point positif bagi pariwisata berkelanjutan di Pontianak. Semua menjadi satu bagian dalam pariwisata berkelanjutan. Dan berada di dua sisi dalam mengembangkan industri pariwisata. Sisi pertama, dengan terus meningkatnya persentase jumlah wisatawan dan persentase pertumbuhan penerimaannya, tentunya akan membawa angka yang signifikan dalam sektor ekonomi suatu daerah dengan tempat-tempat tujuan wisatanya. Sisi kedua, tempat-tempat tujuan wisata di kota Pontianak terbingkai dalam aspek warisan budaya (heritage), sosial budaya, lingkungan, ekonomi. Dimana peran aktif masyarakat sangat dirasakan dan dukungan pemerintah daerah menjadi satu kesatuan.

 —000—-

 

Apakah pariwisata berkelanjutan?

Ia merupakan suatu kegiatan pariwisata yang berusaha untuk hanya berdampak (negatif) kecil terhadap lingkungan hidup dan budaya lokal, di samping membantu untuk menghasilkan pendapatan, membuka lapangan pekerjaan dan melakukan pelestarian terhadap budaya, serta ekosistem lokal. Hal ini berarti pariwisata berkelanjutan merupakan pariwisata yang memiliki kepekaan tanggung jawab baik secara ekologis maupun kultural terhadap tempat tujuan wisata. Baik terhadap lokasi maupun komunitas sekitarnya.

Pariwisata berkelanjutan menurut Soemarwoto9 adalah pembangunan pariwisata yang memperhatikan daya dukung berdasarkan atas tujuan wisata, faktor alamiah, faktor buatan manusia serta melihat kemampuan lingkungan untuk mendukung sarana dan prasarana yang menunjang. Nelson11 mengatakan bahwa pariwisata yang berkelanjutan adalah pariwisata yang bentuknya dapat terus terjaga dan dijaga kelangsungannya pada kawasan tersebut dengan masa yang tak tertentu. Indikator-indikator yang digunakan untuk menyatakan bahwa pariwisata dikatakan berkelanjutan antara lain ; (1)       Terkontrolnya konflik pariwisata oleh masyarakat, seperti privacy, keutuhan lingkungan, nilai-nilai spritual dan estetika. (2) Tidak adanya konflik antara pembangunan pariwisata dengan warisan budaya lokal. (3) Perubahan kepemilikan lahan, seperti perubahan rasio lahan dari bukan perumahan keperumahan, rasio dari lahan pribadi menjadi lahan bersama. Kemudahan lokal untuk pelatihan dan bentuk lain yang mendukung pariwisata.

Menurut Martin dan Munt (2001 : 106)11 prinsip- prinsip yang mesti diperhatikan dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan adalah :

  1. Keberlanjutan (sustainable) :

–   Berhubungan dengan lingkungan       (environmentally)

–   Berhubungan dengan masalah sosial (socially)

–   Berhubungan dengan kebudayaan (culturally)

–   Berhubungan dengan lingkungan            (environmentally)

–   Berhubungan dengan perekonomian   (economically)

  1. Berkaitan dengan pendidikan (educational)
  2. Partisipasi daerah setempat (locally   participatory)

 

Prinsip-prinsip keberlanjutan pariwisata, adalah :

– Penggunaan sumber daya secara berkelanjutan

–   Mengurangi konsumsi berlebihan dan pemborosan

–   Pemeliharaan yang beraneka ragam

–   Jaminan keseimbangan/pemerataan

–   Menyatukan kegiatan pariwisata dalam     perencanaan

– Dukungan perekonomian setempat

– Ketelibatan masyarakat setempat

– Kegiatan konsultasi pihak berkepentingan dengan masyarakat

– Pelatihan staff

– Pemasaran pariwisata yang bertanggung jawab

– Kegiatan penelitian

 

Pada akhirnya setiap detail pembangunan pariwisata berkelanjutan terintegrasi dalam aspek warisan budaya (heritage), sosial budaya, lingkungan dan ekonomi sebagai bagian yang satu kesatuan. Dengan keterlibatan dari setiap elemen masyarakat.

Dari aspek sebagai warisan budaya (heritage), berpengaruh pada bagaimana semua stakeholder yang bersangkutan mempunyai kepedulian dalam menjaga dan merawat landskap dan peninggalan-peninggalan yang ada. Mendorong pelestarian budaya dan peninggalan sejarah dalam memberikan jaminan pelestarian dan keselamatan benda-benda cagar budaya.

Pada aspek sosial budaya, bagaimana masyakat (komunitas lokal) menjaga tradisi-tradisi yang berkembang. Dan tradisi, kebudayaan yang berkembang itu bukan hanya menjadi komoditi bagi wisatawan yang datang namun lebih pada bentuk kekayaan yang di miliki oleh masyarakat. Sehingga jikapun terjadi perjumpaan antara budaya luar dengan komunitas lokal, itu dalam bingkai pemahaman antar budaya ‘cross culture understanding’. Sehingga diantara dua budaya yang mengalami perjumpaan itu dalam posisi yang setara (equal).

Pada aspek lingkungan berpengaruh pada kelestarian lingkungan. Mendorong terpeliharanya lingkungan hidup. Dimana semua pihak juga menjaga kelestarian lingkungan hidup yang ada di sekitarnya. Dan nantinya timbul suatu kesadaran bersama, Bahwa jika bukan kita sendiri yang menjaga kelestarian lingkungan hidup sekitar kita maka siapa lagi. Dan jika kelestarian lingkungan hidup, tak dapat terjaga, maka tak ada lagi wisatawan yang akan datang. Jika wisatawan yang datang sedikit atau tidak ada maka itu akan berpengaruh pada roda perekonomian mereka juga.

Berkenaan dengan aspek ekonomi, dimana masyarakat dapat memanfaatkan semua kemungkinan sumber daya yang berkenaan dengan proses wisata, datangnya para wisatawan. Dengan membuka usaha yang kira-kira di butuhkan oleh para wisatawan. Dari membuka usaha akomodasi, rumah makan, warung penganan kecil dengan suasana khas, penyewaan mobil, motor, sepeda, sampan, laundry/cuci baju, toko cinderamata, sampai pada penunjuk jalan (travel guide).

Kata kuncinya adalah masyarakat akan ikut berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan, apabila setiap elemen masyarakat tersebut merasa mendapat manfaat atau keuntungan dari hal tersebut. Masyarakat akan tergerak untuk berpartisipasi secara aktif, apabila partisipasi itu memberikan manfaat langsung kepada mereka.

Hal tersebut berkenaan dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Menurut Kartasasmita12, upaya pemberdayaan masyarakat melalui tiga jurus: pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat (enabling). Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat

(empowering). Ketiga, memberdayakan mengandung arti melindungi.

Dan dalam rangka meningkatkan keterlibatan atau partisipasi masyarakat, terdapat dua cara : Pertama, mobilisasi kegiatan-kegiatan masyaraat. Kedua, meningkatkan oto aktivitas, swadaya dan swakarya masyarakat sendiri13. Sehingga dari manfaaat yang diperoleh tersebut dapat memenuhi kebutuhan serta kepentingan masyarakat. Hal itu berkenaan pula dengan konsep untuk mencapai tujuan pengembangan pariwisata indonesa pariwisata yakni : Keunikan dan keaslian seni dan budaya Indonesia yang berkesinambungan, menempatkan kepentingan masyarakat sebagai kekayaan yang paling berharga untuk mendukung pengembangan pariwisata, serta mendorong perusahaan kecil, menengah dan koperasi, mendorong dan menciptakan iklim yang mendukung pengembangan pariwisata.

Sekarang tinggal bagaimana semua pihak memposisikan perannya. Salah satu kata kuncinya adalah informasi, keterbukaan serta kerjasama. Dan salah satu dari hal itulah buku ini dibuat.

Maka, siapkan tas anda setelah membaca buku ini. Untuk sebuah perjalanan yang berbeda. Dari yang pernah anda lakukan. Atau bahkan yang anda bayangkan. Dalam sebuah wisata Kota dan wisata Alternatif.

Ke Pontianak yuk …!!

 

Catatan Kaki

 

  1. UU No.9 Tahun 1990 tentang Pariwisata
  2. Adalah definisi yang dikemukakan oleh Prof Hunzieken danProf K Krapt (bapak ilmu pariwisata) dalam Oka, A Yoeti. 1996. Anatomi Pariwisata Indonesia, Bandung, Penerbit AngkasaUU No.9 Tahun 1990 tentang Pariwisata
  1. Berdasarkan data yang dikutip dari WTO, pada tahun 2000 wisatawan mancanegara (wisman) internasional yang melakukan perjalanan wisata ke tempat-tempat wisata di seluruh negara-negara mencapai jumlah 698 juta orang. Menciptakan perputaran ekonomi, barang dan jasa dengan pendapatan sebesar USD 476 milyar. Dengan pertumbuhan jumlah wisatawan sebesar 4,2 %. Sedangkan pertumbuhan penerimaan dari wisman sekitar 7,3%. Di dalam negeri indonesia sendiri, jumlah wisatawan nusantara (wisnus) pada tahun 2000 adalah sekitar 130 juta orang. Dengan total transaksi Rp. 7,7 triliun. Jumlah ini dalam grafik meningkat dan akan terus meningkat seiring dengan adanya kemudahan untuk mengakses data, informasi suatu daerah, promosi serta nilai (value) yang ditawarkan atau yang dapat diperoleh di suatu         daerah tujuan yang akan dikunjungi.
  2. Pendit, Nyoman S. 1981. Ilmu pariwisata, Pradnya Paramita, Jakarta
  3. Verbeke dalam Rosyidie, 1998. Dalam Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota volume 9 nomor 1 Januari 1998
  4. istilah subaltern mula-mula digunakan Antonio Gramsci dalam menunjuk ‘kelompok inferior’, yaitu kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Menurutnya sejarah kelas-kelas subaltern tak kalah kompleksnya    dengan sejarah kelas dominan, hanya saja yang terakhir ini lebih diakui sebagai ‘sejarah yang resmi’.      Ini bisa terjadi karena kelas-kelas sub altern tak punya cukup akses kepada sejarah, kepada representasi mereka sendiri dan kepada institusi-institusi sosial dan kultural. (dikutip dari Antariksa, “intelektual, gagasan subaltern dan perubahan sosial” dalam KUNCI, URL : http://kunci.or.id/teks/oman.htm, diakses 28 Desember 2007
  5. Dalam Wall G dan Nuryati W –ed 1996 Herritage and tourism. Anlas of Tourism Research vol 23, number 2, 1996 Pengamon, Great Britain
  6. Soemarwoto, 1989. Ekologi Lingkungan Hidup Dan Pembangunan, Penerbit djambatan,Jakarta
  7. Nelson, J G Butter R and Wall, G 1993. Tourism and Suistinable Developmnet : Monitoring, Planning and Managing. Dept of Geography University of Waterloo.
  8. Martin, mowforth dan Munt, ian, 1999. Tourism and Sustainability : New Tourism in the third world, Routledge.London
  9. Kartasasmita, 1996: 159. Kartasasmita, Ginanjar, 1996. Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, PT Pustaka Cidesindo, jakarta.2001.
  10. Bintoro, Tjokroamidjojo, 209. 1995. Perencanaan Pembangunan, PT Gunung Agung, Jakarta.