Category Archives: Tradisi

Kelayang Adu

Standar

Kelayang adu biasanya dimainkan pada saat musim kemarau, dimainkan oleh anak – anak hingga dewasa, kelayang adu terbuat dari rotan yang diserut, kertas kelayang dan benang.  Pelaksanaan kelayang adu sudah mulai ditertibkan oleh aparat karena banyak yang menggunakan kawat dan sebagai talinya, sehingga dapat membahayakan bagi orang lain terutama pengguna jalan, sehingga banyak yang bermain di tepian sungai kapuas.

Adu buah Keranji

Standar

Pada saat musim keranji anak – anak mengadu ujung buah keranji, anak yang ujung buah keranjinya pecah maka buah keranji yang pecah diberikan kepada pemenang yang mana buah keranjinya tidak pecah.  Untuk sekarang permainan adu buah keranji sudah jarang dimainnkan hal ini dikarenakan sudah mulai jarangnya buah keranji dan mahalnya harga dari buah keranji.

Guli atau Kelereng

Standar

Sebelum adanya guli (kelereng) digunakan buah getah (karet) yang biasa gugur atau terbawa aliran sungai kapuas, namun sejak adanya guli atau kelereng maka penggunaan buah getah atau karet digantikan dengan guli, atau kelereng atau gundu.  Permainan ini dimainkan bisa secara sendiri maupun bersama teman.

Gelatu

Standar

Dimainkan lebih dari 2 orang, baik laki – laki maupun perempuan.  Gelatu dimainkan di Sungai Kapuas dengan menggunakan akar bakung.  Kemudian anak – anak melakukan hom pim pa atau pingsuit, anak yang menang memperoleh kesempatan pertama kali untuk memainkannya, akar bakung tersebut diselipkan dijari kaki kemudian menyelam kedalam sungai dan akar bakung tersebut dilepaskan.  Anak – anak yang kalah menunggu dan dengan mata yang jeli melihat akar bakung yang mulai terapung, ketika sudah terlihat maka mereka akan berenang dan berebut mengambil akar bakung tersebut, dan berlanjut seperti itu seterusnya.  Permaian gelatu membutuhkan mata yang jeli dan kecepatan berenang, namun seiring waktu permainan ini sudah sangat jarang dimainkan dikarenakan bakung yang terbawa air sungai kapuas sudah jarang sekali ada.

Meriam Karbit

Standar

20130811_005432
Permainan ini diadopsi dari asal usul keberadaan kota Pontianak, permainan meriam karbit dimainkan dari anak – anak sampai dewasa.  Meriam karbit kini dimainkan dari akhir ramadhan hingga beberapa hari setelah idul fitri dengan puncak permainan dimalam takbiran.  Dalam hal penggunaan bahan dan alat meriam karbit dibagi menjadi 2 yaitu : meriam dengan bahan baku terbuat dari kaleng atau botol yang biasa disebut meriam kaleng dan meriam yang terbuat dari kayu gelondongan yang diikat atau disimpai dengan rotan.

a.  Meriam yang berbahan dasar kaleng
Permainan ini pada awalnya menggunakan bambu namun seiring waktu yang berjalan bambu mulai sulit didapatkan menggantinya dengan menggunakan sisa kaleng susu, makanan kaleng, kaleng minuman bersoda atau botol minuman mineral 1L yang sebelumnya telah dilubangi bagian ujung – ujungnya, disusun memanjang dan dikuatkan dengan lakban dan menggunakan karbit, air dan koran bekas atau kertas buku.  Meriam karbit kaleng dimainkan oleh anak – anak secara berkelompok, dan dimainkan sejak awal ramadhan diwaktu yang tidak mengikat, biasanya ba’da sholat subuh, setelah mereka pulang sekolah maupun sore hari menjelang berbuka puasa.
b. Meriam yang berbahan  dasar kayu gelondongan
Menggunakan kayu gelondongan yang dibelah menjadi dua, kemudian setiap bagian tengahnya dikerok, bagian samping – samping dari kayu gelondongan yang tidak dikerok dialasi dengan goni yang telah dipotong memanjang dan dipaku agar kuat.  Kemudian kedua potongan kayu tersebut diikat atau disimpai dengan rotan.  Pekerjaan membuat meriam ini dilaksanakan pada awal ramadhan, yang sebelumnya meriam – meriam ini disimpan didalam air, dan baru diangkat naik kepermukaan pada saat awal ramadhan dan air sungai kapuas mengalami pasang.   Puncak permainan ini dilaksanakan pada malam takbiran dimana sepanjang aliran sungai kapuas terdapat kelompok – kelompok meriam yang merupakan kelompok dari RT atau gang.  Kelompok – kelompok meriam ini saling berhadapan yang dipisahkan oleh sungai kapuas, kelompok – kelompok ini saling serang secara bergantian, jika suatu kelompok ingin membunyikan meriam maka lampu – lampu hias dimatikan ini merupakan pertanda bahwa meriam sebentar lagi akan dibunyikan.  Untuk sekarang ini meriam karbit dijadikan ajang perlombaan untuk memperebutkan piala bergilir.

Gawai Dayak

Standar

Sudah berlangsung sejak tahun 1990. Disellenggarakan pada tanggal 20-25 mei di setiap tahunnya, di Rumah Panjang jalan Sutoyo, Pontianak. Gawai dayak ini inti dan asal mulanya adalah pesta panen padi yang dilakukan etnis dayak. Dimana pada perkembangannya event ini diselenggarakan untuk menumbuh kembangkan dan menampilkan berbagai kesenian dan tradisional maupu kreasi dari suku dayak yang ada di Kalimantan Barat. Antara lain Jonggan, upacara adat, festival lagu pop daerah, festival Bujang dan Dara Gawai, lomba menyumpit, lomba pangkak gasing, lomba melukis perisai, lomba menombak sasaran, seminar kebudayaan dan peragaan busana tradisional kreasi. Di kompleks pelaksanaan kegiatan Gawai Dayak juga diadakan panggung atraksi budaya, pameran, pasar seni dan makanan tradisional. Gawai Dayak diselenggarakan oleh Sekretariat Bersama Kesenian Daerah  (Sekberkesda) Kalimantan Barat. Festival Bujang dan Dara Gawai perlombaan-perlombaan, Atraksi budaya.

Naik Dango

Standar

Upacara Naik Dango yang merupakan kegiatan ritual seputar panen padi adalah perwujudan ungkapan rasa syukur masyarakat Dayak kepada ‘Jubata’ Sang Pencipta akan hasil yang telah diperoleh. Lewat pelaksanaan upacara ini juga memohon kepada Jubata agar diberikan keselamatan dan kesehatan bagi seluruh keluarga dan masyarakat agar dapat leluasa mengerjakan ladangya kembali. Disamping juga bertujuan untuk dapat saling berkumpul sesama masyarakat dan sebagai sarana bersilarurahmi.
Upacara ini diadakan di setiap kabupaten. Tempat penyelenggaraan dilaksanakan bergantian antar kecamatan setiap tahun,  ditetapkan oleh Dewan Adat kabupaten setempat. Di samping upacara adat, diadakan pula pesta wisata dan budaya Naik Dango yang diisi dengan pertunjukan kesenian, lomba permainan tradisional, lomba kesenian daerah, pameran, seminar kebudayaan dan pasar rakyat.

Tradisi Barongsai dan Naga

Standar

Huang Kun Zhang, seorang guru besar Universitas Jinan menyebutkan, barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan. Ternyata upaya itu berjalan sukses hingga akhirnya tarian barongsai pun melegenda hingga kini. Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan.
Di Tiongkok kesenian barongsai dikenal dengan nama lungwu, namun khusus untuk menyebut tarian singa. Tarian naga disebut shiwu dalam bahasa Mandarin. Sebutan barongsai bukan berasal dari Cina. Kemungkinan kata barong diambil dari bahasa Melayu yang mirip dengan konsep kesenian barong Jawa, sedangkan kata sai bermakna singa dalam dialek Hokkian. Konon naga adalah binatang lambang kesuburan atau pembawa berkah.
Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala singa, bertaring serigala dan bertanduk menjangan. Tubuhnya panjang seperti ular dengan sisik ikan, tetapi memiliki cakar mirip elang. Sedangkan singa dalam masyarakat Cina merupakan simbol penolak bala. Maka tarian barongsai dianggap mendatangkan kebaikan, kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan.
Tarian barongsai dilengkapi replika naga (liong), singa dan qilin (binatang bertanduk). Tetapi tidak semua perkumpulan memainkannya. Kebanyakan hanya topeng singa saja. Alasannya tarian singa dianggap lebih mudah dan praktis dibawakan karena lokasi yang digunakan tidak perlu luas. Atraksi topeng singa hanya membutuhkan dua orang pemain. Seni bela diri menjadi kunci permainan ini sehingga banyak pemainnya berasal dari perguruan kungfu atau wushu. Gerakannya berciri akrobatik seperti salto, meloncat atau berguling. Tarian barongsai biasanya diiringi musik tambur, gong, dan simbal.

Tradisi Mercon, Kembang Api, dan Lampion Merah

Standar

Menurut legenda, pada zaman dahulu setiap akhir tahun muncul sejenis binatang buas Nian Show yang memangsa apa saja yang dijumpainya. Binatang ini muncul tepat pada saat menjelang tahun baru Imlek. Nian Show berarti tahun (Nian) binatang (Show) dan di dalam penanggalan Imlek dilambangkan dengan 12 jenis binatang yang dikenal dengan shio-shio Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing, Babi, Tikus, Kerbau, Macan dan Kelinci. Untuk menjaga diri dari serangan Nian Show, menjelang tahun baru, semua pintu dan jendela di pemukiman penduduk ditutup rapat hingga hari maut itu berlalu. Masing-masing keluarga berkumpul di rumah. Setelah beberapa tahun ternyata Nian Show tidak lagi muncul pada tahun baru Imlek. Hal ini membuat kecemasan masyarakat hilang dan tahun baru dirayakan dengan leluasa. Sampai akhirnya pada suatu tahun makhluk ini kembali muncul dan membuat kekacauan. Beberapa rumah penduduk ternyata terhindar dari serangan. Konon hal ini dikarenakan Nian Show takut pada benda-benda yang berwarna merah, juga pada mercon. Sejak itu setiap akhir tahun masyarakat Tionghoa menggantung kain, lampion dan kertas merah di rumah-rumah dengan dilengkapi puisi-puisi indah dalam tulisan, serta memasang mercon dan kembang api untuk mengusir makhluk Nian Show yang berupa hawa jahat.

Tradisi Kue Keranjang

Standar

Salah satu kue khas perayaan tahun baru Imlek adalah kue keranjang. Menurut kepercayaan zaman dahulu, rakyat Tiongkok percaya bahwa anglo dalam dapur di setiap rumah didiami oleh Dewa Tungku, dewa yang dikirim oleh Yik Huang Shang Ti (Raja Surga) untuk mengawasi setiap rumah dalam menyediakan masakan setiap hari. Setiap tanggal 24 bulan 12 Imlek (enam hari sebelum pergantian tahun), Dewa Tungku akan pulang ke Surga untuk melaporkan tugasnya. Maka untuk menghindarkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi rakyat, timbullah gagasan untuk menyediakan hidangan yang menyenangkan Dewa Tungku. Seluruh warga kemudian menyediakan dodol manis yang disajikan dalam keranjang, disebut Kue Keranjang.
Kue Keranjang berbentuk bulat, mengandung makna agar keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat terus bersatu, rukun dan bulat tekad dalam menghadapi tahun yang akan datang. Kue Keranjang disajikan di depan altar atau di dekat tempat sembahyang di rumah.