‘WISATA KULINER’

Standar

Premis sederhananya adalah  ketika bahan baku sumber alam ditambah dengan bumbu rempah-rempah. Diolah tangan-tangan terampil dengan cita rasa tinggi, maka hasilnya  adalah makanan-minuman yang menggugah selera. Anda setuju?? Terlepas dari anda setuju atau tidak, Aristoteles pernah mengatakan “Degustibus Non Est Dispandum”, Bahwa Selera Tak Bisa Diperdebatkan.

 

Bahan baku dan rempah-rempah bumbunya mungkin sama. Namun hasil dan rasanya bisa berbeda. Setiap daerah memiliki suatu kebudayaan, selera, sejarah, dan perkembangannya. Hal itu berpengaruh pula pada makanan-minuman yang menjadi ciri khas suatu daerah.IMG_0014

Premis sederhananya adalah ketika bahan baku sumber alam ditambah dengan bumbu rempah-rempah. Diolah tangan-tangan terampil dengan cita rasa tinggi, maka hasilnya adalah makanan-minuman yang menggugah selera. Anda setuju?? Terlepas dari anda setuju atau tidak, Aristoteles pernah mengatakan “Degustibus Non Est Dispandum”, Bahwa Selera Tak Bisa Diperdebatkan.

Makanan dan juga minuman dilihat dari sudut antropologi atau folklor (Adat istiadat tradisional yang diwariskan; tetapi tidak dibukukan) , merupakan fenomena kebudayaan. Oleh karena itu makanan atau juga minuman bukanlah sekedar produksi organisma dengan kualitas-kualitas biokimia yang dapat dikonsumsi oleh organisasi hidup, termasuk juga untuk mempertahankan hidup mereka. Melainkan bagi anggota setiap kolektif, makanan dan juga minuman selalu ditentukan oleh kebudayaannya masing-masing.

Selain dapat dilihat dari sudut antropologi, makanan dan minuman juga dapat dilihat sebagai fenomena kebudayaan. Menurut Levi-Strauss didalam bukunya Mytholoqique I, Le cr et le Cuit [Metologi I; Yang Mentah dan Yang Masak, 1964 dalam koentjaraningrat, 1980,212], mengatakan bahwa manusia secara universal mengolah makanannya, walaupun sering kali ia juga menyukai makanan yang masih mentah. Dan bahwa makanan manusia secara keseluruhan dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yakni ; melalui proses pemasakan; melalui proses peragian dan makanan yang masih mentah, dalam arti bebas dari salah satu cara pengolahan.

Dan ketika premis di atas menjadi satu bagian dengan folklore, dan sebagai fenomena kebudayaan. Anda mungkin setuju, bahwa makanan dan minuman yang tersedia di suatu daerah dengan ciri khas, kualitas dan kuantitasnya kemudian akan berimplikasi bagi budaya dan pariwisata. Sehingga sekarang dikenal apa yang disebut dengan wisata kuliner. Jika anda setuju, marilah kita lihat dan mungkin cicipi bersama makanan-minuman yang ada disekitaran kota Pontianak. Atau mungkin hanya ada di kota Pontianak saja (dengan citarasa dan suasana yang khas). Dan jika anda belum setuju, ada baiknya anda juga lihat dan cicipi. Hingga kemudian anda akan sadari “belum afdol rasanya jika mengunjungi suatu daerah namun belum mencicipi masakan-minuman khas dengan citarasa dan suasananya”.

Atau belum afdol rasanya bila ke pontianak, jika belum makan di warung A. Atau belum makan mie di bilangan jalan P. Atau masih lapar rasanya bila makan siang belum makan sayur ‘N’ di warung TB. Dan jika sudah berada di salah satu meja atau tempat hidangan. Maka, mungkin benar adanya istilah yang mengatakan

“L’ Appetit Vient En Mangeant”,

Jika kita berada di meja makan yang tepat maka kita akan melahap habis semua makanannya.

 

Selamat Menikmati …

 

 

 

Tinggalkan komentar